Karya: Narendra Brahmantyo K.R.

Ruang Tunggu Selanjutnya

/Setelah lama di hari itu/

“Tak ada yang lebih buta dari pagi ini!”

Hujan meredakan senyummu sekali lagi setelah lama kau menyulam pikiranmu dengan dekapan sementara, seolah kehangatan adalah jalan tikus bagi dekapan yang rakus. Padahal, tubuh-tubuh di sampingmu seringkali menanam uban di hati sambil menunggu tandusnya kepalamu yang pongah.

Kau takkan percaya, malam itu, derasnya cahaya lilin mampu mengobrak-abrik katarsis yang kautulis. Tetes pertama, tetes kedua, sebelum kautempelkan lilin di atas meja, tanganmu telah melepuh. Tak ada lagi rasa penasaranmu pada hakikat-hakikat alinea, sajak-sajak tabu, pertemuan di hari rabu, setelah lama sepasang matamu bercerai.

 Kau hanya percaya pada enigma di kepalamu. “Adakah ramalan-ramalan yang bisa dikembang-kempiskan?” atau, “seharusnya aku berpaling dari semua ini,” namun kau melupakan hari-hari yang kautanam sendiri, hingga busuklah setelah kini hujan terus menyiramnya.

Sebab, kaulah yang sebenarnya buta.


 /Rencana-rencana di selasar peristiwa/

Sehabis hujan beranjak mangkat, kau menjadi dewa baru. Lilin yang kautiup membibit tulisan-tulisan panas dari benakmu yang membangun kehangatan-kehangatan rencana di sebuah ruangan. Kau mengaduk pikiran, tanganmu berkamuflase. Hilir-hilir latah telah sampai di dadamu sebelum kausempat menyuburkan pikiranmu.

Di sebelah, pada ruangan kosong yang kautunggu, kau menjadikan hamba-hamba dalam diri mereka sebagai budak, nadi-nadinya sebagai perusak, dan jantung-jantungnya sebagai penanak, hingga jadilah, kau membual nama-nama di kepalamu sebagai biang kedangkalan.

         “Aku ingin menyuburkan rencana-rencana di hari ini.”

                    “Lalu, apa yang kautunggu, Bung?”

“Sebuah ruangan. Sebuah ruangan.”

Namun, kau hanya masih bekerja, meraup sisa penyesalan. Padahal dewa tak pernah membuang hambanya begitu saja.

                     Hey, Bung. Kematian bukanlah keegoisan yang direncanakan.” 


/Pada ruang tunggu/

Setelah lama, akhirnya kaukenakan utuh penyesalan sambil mengurutkan dekade sejak kau mulai keluar dari ruanganmu. Kaudapati jajaran pasien yang menggentayangi lorong.

Selangkah, dua langkah. Kau terhenti di samping pasien yang tengah duduk seperti tengah merajut usia di tangannya. Kepasrahan adalah jalan tunggal dari lorong yang telah mencuri martabatmu, namun, kau mengelak. Pasien-pasien itu mencopot kepala-kepala mereka, sementara kau masih sibuk merapikan kulit-kulit wajahmu.

         “Apa yang kautunggu?”

     “Kematian selanjutnya di ruangan ini.”

Selebihnya kau terus bertanya sambil menatap kosong usiamu,

         “Apakah kematian hanya menjadi bilah-bilah pertanyaan?”

“Setelah kau memasuki ruangan selanjutnya, Bung. Setelah antrean yang menunggu ruanganmu habis, kaulah yang menjadi pasien kematian selanjutnya.”

(Gombong, 17 Januari 2022)

-------

Traumatis Hudea

/Kejadian 1/

Pada rautnya, pipi tembam mengerut menuju pangkal kesedihan yang berlarut membawa raga paling kerontang akan persaksian sungut yang dilancarkan kendali serangan setelah tepi-tepi Bendungan Al Duwaysat kian uzur manakala tangis langit adalah naungan paling masyhur

Hudea, senjata itu adalah sepasang mata bangsawan yang telah mangkat dipersaksikan Tuhan dalam monokrom ringkas sebagai ladang paling utuh bagi simpatisan sebab serangan-serangan adalah pertunjukan paling nomaden macam pandemi yang lekas bertandang dan pulang—membakar kepungan derai sebagai lawan tanding yang urung sepadan

Juga, bagi seorang bocah empat tahun itu yang ditunjuk sebagai unjuk persaksian, menonton Kamp Atmeh sebagai wahana pencacian air mata

/Kejadian 2/

Tak ada habisnya tanah Syria meminum kepasrahan menjadi perasan keringat dan darah sebatas permainan beringas manufaktur manusia semacam ingar-bingar bagi keturunannya, yang pada mata Hudea, tersingkaplah noda silam akan gerilya ingatan yang mencoba mencabik urusan mungilnya dengan takdir sebab kematian telah menyeberang jauh melewati kepala ayahnya—merajam segala upaya di tengah badai semenanjung dan konflik batin dalam perjalanannya menjauhi Kota Hama, pada lawatan yang paling lama

Membaca lensa tele yang menodong, Hudea mengangkat tangan paling kosong sebab persaksian itu adalah pilihan terakhir sementara teror bom dan segapuk senjata laras panjang menjelma kematian yang menggigit bibir Hudea sebagai janji akan perjumpaan yang lapang

: seorang ibu tak berhak menguburkan anaknya sendiri

(Gombong, 15 November 2021)


Nb: Kedua puisi di atas masuk nominasi puisi terbaik yang diselenggarakan oleh Penerbit Omera Pustaka dan rencana akan dibukukan dalam bentuk antologi.

-------

Kotak Kota

Selingkar syahid di benak adalah gerigi gencatan pengalihan pada ibu dan anak-anak yang mengenyam sampur sepanjang maklumat pengiring dawai-dawai yang mendengkur

Mengisi ternak; gembala-gembala peneduh pengerat di dahi yang mengecam darah tinggi sebagai kepasrahan paling mumpuni 


Memahat mata kawanan liar di sepanjang jalan, sepeser, dua peser, menyalami trotoar sebagai salam terakhir dan sekali lagi, menggandeng marka penyeberangan sebelum kami berjingkat menyiasati lampu merah


Coba katakan pada arloji yang seringkali mengukur guratan lingkar hasta tentang apa yang lebih mengurai dahaga semacam kematian yang meminum darah kesenjangan, atau bisakah mereka memotong lengannya sekejap, mengantunginya untuk dikenakan lagi di esok hari?


Sedang rencana-rencana menyalangkan siasat gerabah-gerabah gosong yang dipanaskan pada dahi


Mengusangkan mimpi-mimpi yang rimbun memingit jurang trotoar—melaju kosong pada persimpangan yang menodong


Ataukah kita kemiskinan itu?


Nb: Puisi juara 1 event sayembara dan penerbitan puisi tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Poetry Publisher dan dibukukan dalam antologi buku berjudul Kotak Kota.

-------

Sekali Lagi Mencuri Berahi

Siang siap mengawini tanah tentang

seberapaletihnya persimpangan itu gemar

memblokade bantuan kala jemari masih terus

menyerok ketidakterimaan

“Orang bangsat!” Coba kauulangi seraya berpaling

mengelus buah dada

Tidak bermukim, tidak bermata, mereka mencurimu

seperti pelacur yang sedang mengais jam-jam kota

dengan budaya multiholistik

“Bagaimana aku bisa menatap sedang tatapanku dilecehkan?”

Kau tahu? Bus-bus kota, jalan-jalan pasang dengan

 kamera-kamera mengintai siap menggaetmu dengan

repih yang dijajal dengan bingkisan palsu

Dan nantinya, kau akan tersungkur, mencoba

membelot dari para pencuri berahi sedang dirimu

tak lagi bisa ke mana-mana


Sampai nanti, kabut masih dikenakan usia pagi dan

seseorang berjalan tak mendapati bagaimana

kesucian wajahnya masih dini diterawang

Tok…tok..tok

Bersiaplah, kaucopot busur matamu dan jangan

berbalik ke kamarmu

“Ada apa gerangan?”

Kembali, jangan sampai kukatakan lagi jika lekuk

ragamu belum siap disekap

Zulaikha, dan pedang-pedang panjang di tangan

telah merobek bahu Yusuf, padahal pemburu

sejatinya ialah pemangsa andal yang enggan

menjinakan nafsu sampai habis pada

ketergantungan akan sumur-sumur boikot dalam

kandang manusia

Maka sampai kapan kau ingin tertatih, kembali pada

acara perundungan yang terencana dengan sepeser durasi?


(Gombong, 23 Oktober 2021)

-------

Membaca Mural Bangsa

Di jarak rengkuh, manusia-manusia kukuh memungut iba seraya memanggul sehasta jarak kematian, telah terjaga di larut malam, menemani bayi-bayi yang menenggak peluh dengan campuran got.

Tangannya menjaring ember persediaan kemarau dari kecebong-kecebong yang memaku rival hidup.

Selebihnya berpikir tentang mendiang hari – bersiap menempuh cara-cara busuk di esoknya biarpun nanti ia penggal usia di tahanan, negeri.

Maling hidup
Tujuh tahun telah berlalu
Nama biarlah tercemar selagi usia lebih dulu menghitam
“Lukisan-lukisan psikopat.”

Berulangkali manusia-manusia rompi tebal menebak dahan wajah yang kusam itu telah patah di tangan tahanan negeri. Selarik tulisan mereka belokkan.
“Tubuh-tubuh berdarah sangat tidak etis.”
Dan tahanan negeri berulangkali memahat puing-puing akal yang sudah rusak
“Itu adalah kota yang kugambarkan dalam jendela wajah yang sewaktu-waktu hilang di tanganmu.”
Namun pundi-pundi wajah telah merongsok di selembar kosong peraturan, “lambang negara,” itu yang selalu menjadi vonis biarpun usai usianya

Ia tahu esoknya, seratus tahun lagi
Kursi sidang telah lapuk ia duduki
Sedang kursi yang dijabatkan pada Kitab telah diawetkan, lima tahun lagi

(Gombong, 30 September 2021)


Nb: Kedua puisi di atas masuk nominasi 40 puisi terbaik lomba cipta puisi nasional yang diselenggarakan oleh sutera.id dan dibukukan dalam antologi berjudul Eksploit Organ Dalam

-------

Narendra Brahmantyo K.R.

Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Ahmad Dahlan dengan nama asli Narendra Brahmantyo Karnamarhaendra Roosmawanto. Tempat kepulangan di Gombong, Kebumen. Berpuisi, menulis novel di sebagian waktu. Novelnya yang berjudul “Coretan Abstrak” diproyeksikan akan segera terbit. Kutipannya bisa dilihat di Instagram : @nareend__, dan Twitter : @Narendra_BKR  

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama