Ruang Tunggu Selanjutnya
/Setelah lama di hari itu/
“Tak ada yang lebih buta dari pagi ini!”
Hujan meredakan senyummu sekali lagi setelah lama kau menyulam pikiranmu dengan dekapan sementara, seolah kehangatan adalah jalan tikus bagi dekapan yang rakus. Padahal, tubuh-tubuh di sampingmu seringkali menanam uban di hati sambil menunggu tandusnya kepalamu yang pongah.
Kau takkan percaya, malam itu, derasnya cahaya lilin mampu mengobrak-abrik katarsis yang kautulis. Tetes pertama, tetes kedua, sebelum kautempelkan lilin di atas meja, tanganmu telah melepuh. Tak ada lagi rasa penasaranmu pada hakikat-hakikat alinea, sajak-sajak tabu, pertemuan di hari rabu, setelah lama sepasang matamu bercerai.
Sebab, kaulah yang sebenarnya buta.
Sehabis hujan beranjak mangkat, kau menjadi dewa baru. Lilin yang kautiup membibit tulisan-tulisan panas dari benakmu yang membangun kehangatan-kehangatan rencana di sebuah ruangan. Kau mengaduk pikiran, tanganmu berkamuflase. Hilir-hilir latah telah sampai di dadamu sebelum kausempat menyuburkan pikiranmu.
Di sebelah, pada ruangan kosong yang kautunggu, kau menjadikan hamba-hamba dalam diri mereka sebagai budak, nadi-nadinya sebagai perusak, dan jantung-jantungnya sebagai penanak, hingga jadilah, kau membual nama-nama di kepalamu sebagai biang kedangkalan.
“Lalu, apa yang kautunggu, Bung?”
“Sebuah
ruangan. Sebuah ruangan.”
Namun, kau hanya masih bekerja, meraup sisa penyesalan. Padahal dewa tak pernah membuang hambanya begitu saja.
“Hey,
Bung. Kematian bukanlah keegoisan yang direncanakan.”
/Pada ruang tunggu/
Setelah lama, akhirnya kaukenakan utuh penyesalan sambil mengurutkan dekade sejak kau mulai keluar dari ruanganmu. Kaudapati jajaran pasien yang menggentayangi lorong.
Selangkah, dua langkah. Kau terhenti di samping pasien yang tengah duduk seperti tengah merajut usia di tangannya. Kepasrahan adalah jalan tunggal dari lorong yang telah mencuri martabatmu, namun, kau mengelak. Pasien-pasien itu mencopot kepala-kepala mereka, sementara kau masih sibuk merapikan kulit-kulit wajahmu.
“Kematian selanjutnya di ruangan ini.”
Selebihnya kau terus bertanya sambil menatap kosong usiamu,
“Setelah
kau memasuki ruangan selanjutnya, Bung. Setelah antrean yang menunggu ruanganmu
habis, kaulah yang menjadi pasien kematian selanjutnya.”
(Gombong, 17 Januari 2022)
-------
Traumatis Hudea
/Kejadian 1/
Pada rautnya, pipi tembam mengerut menuju pangkal kesedihan yang
berlarut membawa raga paling kerontang akan persaksian sungut yang dilancarkan
kendali serangan setelah tepi-tepi Bendungan Al Duwaysat kian uzur manakala tangis
langit adalah naungan paling masyhur
Hudea, senjata itu adalah sepasang mata bangsawan yang telah
mangkat dipersaksikan Tuhan dalam monokrom ringkas sebagai ladang paling utuh
bagi simpatisan sebab serangan-serangan adalah pertunjukan paling nomaden macam
pandemi yang lekas bertandang dan pulang—membakar kepungan derai sebagai lawan
tanding yang urung sepadan
Juga, bagi seorang bocah empat tahun itu yang ditunjuk sebagai unjuk persaksian, menonton Kamp Atmeh sebagai wahana pencacian air mata
/Kejadian 2/
Tak ada habisnya tanah Syria meminum kepasrahan menjadi perasan
keringat dan darah sebatas permainan beringas manufaktur manusia semacam
ingar-bingar bagi keturunannya, yang pada mata Hudea, tersingkaplah noda silam
akan gerilya ingatan yang mencoba mencabik urusan mungilnya dengan takdir sebab
kematian telah menyeberang jauh melewati kepala ayahnya—merajam segala upaya di
tengah badai semenanjung dan konflik batin dalam perjalanannya menjauhi Kota
Hama, pada lawatan yang paling lama
Membaca lensa tele yang menodong, Hudea mengangkat tangan paling
kosong sebab persaksian itu adalah pilihan terakhir sementara teror bom dan
segapuk senjata laras panjang menjelma kematian yang menggigit bibir Hudea
sebagai janji akan perjumpaan yang lapang
: seorang ibu tak berhak menguburkan anaknya sendiri
(Gombong, 15 November 2021)
Nb: Kedua puisi di atas masuk nominasi puisi terbaik yang diselenggarakan oleh Penerbit Omera Pustaka dan rencana akan dibukukan dalam bentuk antologi.
-------
Kotak Kota
Selingkar syahid di benak adalah gerigi gencatan pengalihan pada ibu dan anak-anak yang mengenyam sampur sepanjang maklumat pengiring dawai-dawai yang mendengkur
Mengisi
ternak; gembala-gembala peneduh pengerat di dahi yang mengecam darah tinggi
sebagai kepasrahan paling mumpuni
Memahat mata kawanan liar di sepanjang jalan, sepeser, dua peser, menyalami trotoar sebagai salam terakhir dan sekali lagi, menggandeng marka penyeberangan sebelum kami berjingkat menyiasati lampu merah
Coba
katakan pada arloji yang seringkali mengukur guratan lingkar hasta tentang apa
yang lebih mengurai dahaga semacam kematian yang meminum darah kesenjangan,
atau bisakah mereka memotong lengannya sekejap, mengantunginya untuk dikenakan
lagi di esok hari?
Sedang
rencana-rencana menyalangkan siasat gerabah-gerabah gosong yang dipanaskan pada
dahi
Mengusangkan
mimpi-mimpi yang rimbun memingit jurang trotoar—melaju kosong pada persimpangan
yang menodong
Ataukah
kita kemiskinan itu?
Nb: Puisi juara 1 event sayembara dan penerbitan puisi tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Poetry Publisher dan dibukukan dalam antologi buku berjudul Kotak Kota.
Sekali Lagi Mencuri Berahi
seberapaletihnya persimpangan itu gemar
memblokade bantuan kala jemari masih terus
menyerok ketidakterimaan“Orang bangsat!” Coba kauulangi seraya berpaling
mengelus buah dadaTidak bermukim, tidak bermata, mereka mencurimu
seperti pelacur yang sedang mengais jam-jam kota
dengan budaya multiholistik“Bagaimana aku bisa menatap sedang tatapanku dilecehkan?”
Kau tahu? Bus-bus kota, jalan-jalan pasang dengan
kamera-kamera mengintai siap menggaetmu dengan
repih yang dijajal dengan bingkisan palsu
Dan nantinya, kau akan tersungkur, mencoba
membelot dari para pencuri berahi sedang dirimu
tak lagi bisa ke mana-mana
Sampai nanti, kabut masih dikenakan usia pagi dan
seseorang berjalan tak mendapati bagaimana
kesucian wajahnya masih dini diterawang
Tok…tok..tok
Bersiaplah, kaucopot busur matamu dan jangan
berbalik ke kamarmu
“Ada apa gerangan?”
Kembali, jangan sampai kukatakan lagi jika lekuk
ragamu belum siap disekap
Zulaikha, dan pedang-pedang panjang di tangan
telah merobek bahu Yusuf, padahal pemburu
sejatinya ialah pemangsa andal yang enggan
menjinakan nafsu sampai habis pada
ketergantungan akan sumur-sumur boikot dalam
kandang manusia
Maka sampai kapan kau ingin tertatih, kembali pada
acara perundungan yang terencana dengan sepeser durasi?
(Gombong, 23 Oktober 2021)
-------
Membaca Mural Bangsa
Di jarak rengkuh, manusia-manusia kukuh memungut iba seraya memanggul sehasta jarak kematian, telah terjaga di larut malam, menemani bayi-bayi yang menenggak peluh dengan campuran got.
Tangannya menjaring ember persediaan kemarau dari kecebong-kecebong yang memaku rival hidup.
Selebihnya berpikir tentang mendiang hari – bersiap menempuh cara-cara busuk di esoknya biarpun nanti ia penggal usia di tahanan, negeri.
Maling hidup
Tujuh tahun telah berlalu
Nama biarlah tercemar selagi usia lebih dulu menghitam“Lukisan-lukisan psikopat.”
Berulangkali manusia-manusia rompi tebal menebak dahan wajah yang kusam itu
telah patah di tangan tahanan negeri. Selarik tulisan mereka belokkan.
“Tubuh-tubuh berdarah sangat tidak etis.”
Dan tahanan negeri berulangkali memahat puing-puing akal yang sudah rusak
“Itu adalah kota yang kugambarkan dalam jendela wajah yang sewaktu-waktu hilang
di tanganmu.”
Namun pundi-pundi wajah telah merongsok di selembar kosong peraturan, “lambang
negara,” itu yang selalu menjadi vonis biarpun usai usianya
Ia tahu esoknya, seratus tahun lagi
Kursi sidang telah lapuk ia duduki
Sedang kursi yang dijabatkan pada Kitab telah diawetkan, lima tahun lagi
(Gombong, 30 September 2021)
Nb:
Kedua puisi di atas masuk nominasi 40 puisi
terbaik lomba cipta puisi nasional yang diselenggarakan oleh sutera.id dan
dibukukan dalam antologi berjudul Eksploit Organ Dalam
-------
Narendra Brahmantyo K.R.
Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Ahmad Dahlan dengan nama asli Narendra Brahmantyo Karnamarhaendra Roosmawanto. Tempat kepulangan di Gombong, Kebumen. Berpuisi, menulis novel di sebagian waktu. Novelnya yang berjudul “Coretan Abstrak” diproyeksikan akan segera terbit. Kutipannya bisa dilihat di Instagram : @nareend__, dan Twitter : @Narendra_BKR
Posting Komentar